Jumat, 04 Januari 2013


Beberapa tahun belakangan di beberapa daerah di Indonesia berkembang paham yang membenci patung. Patung dianggap simbol berhala, setan, dll. Patung dianggap mengganggu iman, patung dianggap memberi ruang bagi setan, patung dianggap dihuni oleh setan, patung dianggap melunturkan keyakinan manusia akan kebesaran ilahi, patung dibenci, dibenci, dibenci dan dibenci. Sampai-sampai di sebuah kota di Indonesia bergerak segerombolan masa di tengah kota untuk merobohkan patung-patung yang dibangun pemerintah setempat di perempatan jalan. Mungkin meniru gaya Taliban di Afganistan yang merobohkan patung-patung Buda peninggalan peradaban masa lalu di tanah itu. Ada apa dengan mereka itu? Entahlah… patung ya tetap patung, dibongkar juga tak menangis. Tapi ego, benci dan dengki dalam diri orang-orang pembenci patung pastilah tak pernah mati. Ego itu akan menyiksa dirinya seumur hidup. Itu adalah situasi di belahan bumi nusantara yang lain.
        Sedangkan di belahan tanah Indonesia yang lain yang bernama Bali, patung justru mendapat tempat yang sangat istimewa. Manusia Bali menilai patung adalah produk kebudayaan, patung adalah peradaban, patung adalah ekpresi jiwa, patung adalah sarana pemujaan, patung adalah spirit, patung adalah adat, patung adalah warisan, patung adalah seni, patung adalah teknologi, patung adalah sejarah, patung adalah kemuliaan, patung adalah mahakarya, patung adalah energi hidup, patung adalah lapangan kerja, patung adalah identitas, patung adalah uang, patung adalah seni, patung adalah kesabaran, patung adalah warna dunia, patung adalah inspirasi, patung adalah konsentrasi, patung adalah saksi bisu, dll. Patung kalau dihayati dan dirasakan maka ia tak akan habis dibicarakan. Manusia yang memiliki cita, rasa, dan karsa pastilah menempatkan patung sebagai puncak-puncak kreatifitas peradaban.
       Bagi manusia Bali, tanpa patung kehidupan menjadi hampa, tanpa patung kehidupan tak bermakna, tanpa patung tanah ini tanpa karisma, tanpa patung manusia sepertinya tak berkebudayaan, tanpa patung manusia tak beradab. Patung menumbuhkembangkan cita, rasa dan karsa manusia. Dengan patung manusia memiliki kepekaan sosial. Melalui patung manusia melatih kesabaran. Melalui patung manusia belajar tentang hidup dan kehidupan. 
Kira-kira demikian ekspresi manusia Bali memuliakan dan memberikan tempat kepada hasil-hasil karya seni berupa patung. Oleh karenanya manusia Bali menempatkan patung dalam setiap sudut ruang-ruang baik dalam keluarga maupun ruang publik. Demikian juga filosofi patung menginspirasi setiap sudut-sudut pandang dan pola pikir manusia Bali. Patung akan merasa nyaman kalau berdiri di tanah Bali. Ada yang memandang, ada yang menghias, ada yang menggunakan sebagai media pemujaan, dan sebagainya. Semua manusia Bali menyayangi patung. Bali bersinar karena pancaran cahaya cita rasa dan karsa si pembuatnya. Bali beraura magis karena vibrasi energi batin (jnana) si pembuat patung serta masyarakat yang mencintainya.
          Manusia Bali akan sangat senang kalau di setiap sudut kota, perempatan, pertigaan atau tempat umum dipajang patung-patung dengan berbagai ukuran dan berbagai macam bentuk yang melambangkan kekayaan filosofi kehidupan. Keberadaan patung-patung ini telah berkembang menjadi ikon daerah seperti patung Catur muka sebagai ikon Kota Denpasar, Patung Dewa Ruci menjadi ikon Kabupaten Badung, Patung Kebo Iwa menjadi ikon Gianyar, patung Kanda Pat Sari menjadi ikon kota Semarapura, Klungkung, patung Singa Ambara Raja menjadi ikon kota Singaraja, patung Sagung Wah menjadi ikon kota Tabanan (Singasana), tugu Pan Balang Tamak menjadi ikon kota Negara, dll. Semua ini adalah karya-karya yang telah mendapat tempat di hati masyarakat. Keberadaan patung-patung ini telah membangun spirit peradaban.
      Akan menjadi semakin bersinar dan semkin metaksu tanah Bali, apabila masyarakat dan pemerintah menambah koleksi patung-patung hasil karya manusia Bali untuk menghias setiap sudut tanah Bali. Pasalnya, masih banyak kawasan yang belum dihias dengan patung, sehingga kesan budaya, kesan seni, serta kesan magisnya agak lengang. Ambil contoh misalnya di kawasan jalan sudirman, matahari, teuku umar sangat ideal untuk ditempatkan patung untuk menambah kesan budaya. Demikian juga dengan di daerah lainnya di Bali seperti sepanjang jalan Profesor Ida Bagus Mantra. Termasuk sepanjang jalan Baipass Ngurah Rai, dan sepanjang Jalan Gatot Subroto. Jalan-jalan protocol tersebut adalah jalur wisata yang masih kering dengan nuansa budaya Bali. Sehingga keberadaan patung sangat diperlukan di kawasan tersebut. Dengan harapan nantinya kota-kota di Bali menjadi “Kota Sejuta Patung”.
       Selain untuk menambah keindahan, juga melambangkan kedalaman dan kekayaan filosofi kehidupan di tanah Bali. Entah itu patung bernuansa dewa-dewa, bernuansa kala, bernuansa pewayangan, patung kontenporer, patung pahlawan, patung manusia, patung binatang, dll. sebagai cerminan kreatifitas, produktifitas, dan kearifan local tanah Bali.  Walaupun saat ini pemerintah dan masyarakat sudah melakukan itu, namun terasa masih perlu ditingkatkan secara kualitas dan kuantitas.
          Dan yang penting lagi untuk diingat bahwa patung-patung yang ditempatkan di ruang publik mesti menggambarkan filosofi atau sejarah tertentu, sehingga menempatan patung itu mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap kebaradaan patung itu sendiri. Serta nilai-nilai yang ingin disampaikan melalui patung-patung tersebut. Dengan keberadaan patung-patung tersebut maka diyakini tanah Bali akan semakin bersinar, semakin berkarisma, sekaligus semakin memancarkan cahaya magis (taksu) bersanding dengan hasil karya manusia Bali lainnya baik berupa seni tabuh, seni tari, seni lukis, seni arsitektur, dll.
           Manusia Nusantara sejati, manusia Bali sejati pastilah menyukai patung. (Taksu/kand).

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]